Adapun faktor-faktor yang menyebabkan mengapa seorang remaja terlibat perkelahian
antar pelajar, yaitu: (1) faktor
internal: faktor adaptasi, cara berpikir (2) faktor eksternal: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan
sekitar (Kartono, 2003).
1.Faktor internal
1. Faktor
adaptasi: merupakan faktor yang berasal dari individu seseorang dalam menanggapi lingkungan di sekitarnya dan semua
pengaruh dari luar. Tingkah laku mereka itu merupakan reaksi dari proses
belajar, dalam bentuk ketidakmampuan mereka melakukan adaptasi terhadap lingkungan
sekitar.
Dengan semakin pesatnya usaha
pembangunan, modernisasi, urbanisasi dan industrialisasi yang berakibat semakin
kompleksnya masyarakat sekarang, remaja dituntut untuk melakukan penyesuaian
diri/adaptasi terhadap berbagai perubahan sosial. Mereka lalu mengalami banyak
kejutan, frustasi, konflik, ketegangan batin dan gangguan kejiwaan, sehingga
mempengaruhi keadaan emosional, pola tingkah laku serta hubungannya dengan
lingkungan sekitar yang mengalami berbagai perubahan disetiap hal. Emosi pada
masa remaja biasanya akan mudah bangkit dan mengekspresikannya secara
meledak-ledak. Faktor yang mempengaruhi status emosi pada masa usia remaja
adalah masalah fisik dari remaja tersebut, lingkungan sosial (penyesuaian
terhadap lingkungan yang baru dan hambatan-hambatan terhadap hal-hal yang
diinginkan serta relasi dalam keluarga yang kurang mendukung).
Hasballah (2003) mengatakan,
bahwa konsep diri remaja juga sangat menentukan dalam proses adaptasi bagi
remaja. Remaja yang mempunyai konsep diri positif, cenderung bersikap
optimistis dan percaya diri. Sebaliknya, remaja yang mempunyai konsep diri
negatif akan bersikap rendah diri, pesimistis, minder, dan menarik diri dari
lingkungan atau komunitasnya. Konsep diri memiliki beberapa kelompok yaitu dimensi
pengetahuan diri, harapan pada diri, dan evaluasi pada diri. Secara teori,
agresivitas remaja akan mengarah ke tingkat destruktif bila kualitas
lingkungan, kualitas hubungan orangtua, dan konsep diri semuanya negatif.
2. Cara
berpikir: berpikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat dan
adaptasi wajar terhadap tuntutan lingkungan dan sebagai upaya untuk memecahkan
kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Jika anak remaja tidak mampu mengoreksi
pikiran-pikirannya yang salah dan tidak sesuai dengan realita yang ada, maka
pikirannya terganggu. Lalu pola reaktifnya juga menjadi terganggu/menyimpang
dan tidak normal lagi, seperti reaksi dan tingkah laku anak menjadi salah; bisa
menjadi liar tidak terkendali, selalu memakai cara-cara yang keras dan
perkelahian dalam menanggapi segala kejadian.
Soetjiningsih
(2004) mengatakan bahwa perkembangan cara berpikir merupakan satu hal yang
harus dicermati karena pada fase ini cara berpikir konkrit yang ditunjukkan
pada masa kanak-kanak sudah ditinggalkan. Namun perkembangan cara berpikir ini
ternyata tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang naik turun. Bersikap
kritis pada setiap masalah, menentang peraturan sekolah maupun di rumah menjadi
suatu ciri meningkatnya kemampuan berpikir yang mulai meluas pada remaja. Anak
yang menjadi korban kekerasan maupun menyaksikan kekerasan/perkelahian akan
mempengaruhi fungsi berpikir dan distorsi pada memorinya. Kemarahan akan tertanam
pada dirinya, sehingga akan mempengaruhi struktur kepribadiannya, sulit
mengontrol perilakunya serta beresiko tinggi melakukan tindak kekerasan dan
perkelahian pula.
2.
Faktor eksternal
1.Lingkungan
keluarga: lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi dan
pembentukan kepribadian anak serta menjadi unit sosial terkecil yang memberikan
fondasi primer bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan lingkungan sosial
pertama yanag memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. Dengan kata lain, secara ideal
perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Tentu saja
keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang harmonis, sehingga remaja
memperoleh berbagai jenis kebutuhan, seperti: kebutuhan fisik-organis, sosial
maupun psikososial.
Peranan
keluarga khususnya orang tua sangat dominan dalam perkembangan watak dan
kepribadian seorang anak, baik dalam hal penerimaan anak di dalam keluarga,
kasih sayang, serta aturan-aturaan yang ada di dalam keluarga yang akan menghambat
kebebasan anak untuk berkembang semaksimal mungkin.
Menurut
Hasballah (2003) Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, tidak
mendapat kasih sayang, dan tidak diterima oleh orang tua di rumah juga akan
cenderung membuat remaja/anak lari dari situasi yang nyata. Dalam kondisi ini
remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang
untuk melakukan perilaku menyimpang.
Stuart
dan Sundeen (1995) menyatakan bahwa faktor keluarga (orang tua), turut memberi
andil yang besar dalam proses pembentukan konsep diri anak. Anak yang di
besarkan dalam lingkungan yang kondusif, penuh kasih sayang dan saling
menghargai akan membawa anak kepada
konsep diri yang positif. Sebaliknya rendahnya kasih sayang, penerimaan dan
penghargaan yang didapatkan seorang anak juga bisa membawa dampak yang buruk
dalam proses perkembangannya.
Sedangkan menurut Soekanto (2004) lingkungan keluarga
yang tidak kondusif, ketertekanan anak sebagai akibat lingkungan keluarga yang
tidak harmonis dan disfungsi keluarga dalam melaksanakan perannya, ternyata
berdampak kepada larinya anak dari lingkungan keluarga. Hilangnya peran orang
tua sebagai pemenuh kebutuhan, pemberi perlindungan, kasih sayang, penghargaan,
dan pemberi ketentraman, mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi anak untuk
merasakan kehidupan yang layak dan normal, sehingga anak mencari di luar
lingkungan sekitarnya dalam memenuhi kebutuhannnya.
2. Lingkungan
sekolah: sekolah merupakan pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga.
Sekolah selain tempat menuntut ilmu pengetahuan, juga merupakan tempat dimana
anak remaja untuk membentuk watak dan kepribadian yang sesuai dengan
perkembangannya dan sekolah juga memberikan bantuan terhadap penerimaan fisik
remaja, seksualitas serta peran jenisnya saat remaja melepaskan emosional dari
orang tuanya, pada saat mempersiapkan diri untuk membuat hubungan baik dengan
teman-teman sebayanya dan guru serta mentaati peraturan-peraturan yang ada di
sekolah.
Dalam
perkembangan sosial remaja maka remaja
mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman
sebaya. Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam
kehidupan sosial remaja, kecenderungan keterikatan dalam kelompok tersebut akan
bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi diantara anggota-anggotanya.
Monks,
(2004) mengatakan bahwa lingkungan sekolah juga memberi bantuan kepada para
remaja dalam mencari pengisian waktu luang yang baik dalam mengembangkan
kemampuan kreatifnya, sehingga tidak terjadi perilaku-perilaku yang menyimpang
dari norma-norma yang ada.
Stuart
dan sundeen (1995) mengatakan bahwa lingkungan sekolah dalam hal ini teman
sebaya mempengaruhi proses terbentuknya konsep diri. Lingkungan yang penuh
dengan kehangatan, saling menghargai dan penuh penghargaan membawa dampak
terbentuknya konsep diri yang positif pada anak remaja, sebaliknya
lingkungan yang penuh dengan kekerasan
(perkelahian), membawa dampak yang tidak baik bagi perkembangan konsep diri
anak remaja, seperti yang ditemukan pada remaja yang sering berkelahi.
Soetjininngsih (2004) juga mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya
tawuran/perkelahian anatar pelajar adalah keinginan untuk membalas dendam antar
teman atau kenalannya, yang kemudian akan menimbulkan penyesalan pada dirinya.
Soetjiningsih
(2004) juga mengatakan 57% remaja merasakan dirinnya diejek, diolok-olok atau dibicarakan hal-hal negatif
oleh orang lain. Pengalaman ini sering dialami mereka di lingkungan sekolahnya,
sehingg hampir 90% kenakalan atau perkelahian antar pelajar ini terjdi di
sekolah.
3. Lingkungan
sekitar: anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari
keadaan masyarakat dan lingkungannnya baik secara langsung maupun tidak
langsung. Keadaan lingkungan
sekitar tidak selalu baik dan menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan
anak. Lingkungan sekitar ada kalanya dihuni oleh orang-orang dewasa serta
anak-anak muda kriminal dan anti sosial, yang bisa merangsang timbulnya reaksi
emosional yang buruk pada anak-anak dan remaja yang masih labil jiwanya. Dengan
begitu anak-anak remaja ini mudah terbawa oleh pola kriminal, a susila dan anti
sosial.
Hasballah, (2003) mengatakan kondisi lingkungan tempat tinggal yang
tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam
menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi remaja yang
hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman
tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi
inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma
dan pengawasan di lingkungan rumah.
B. Dampak
perkelahian/tawuran
Menurut Hasby, E (2000), Ada 4 (empat) dampak negatif dari perkelahian
antar pelajar, yaitu:
- Pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera bahkan tewas.
- Rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi, seperti: kaca toko, kendaraan dan bangunan sekolah.
- Terganggunya proses belajar mengajar di sekolah.
- Yang paling dikhawatirkan para pendidik yaitu berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain.
Para pelajar
itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan
masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya
tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang
terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia terutama terhadap
kehidupan remaja atau generasi mudanya.