contoh resensi buku nonfiksi.
1. Kisah Membaca Seorang “Yogi Buku”
Judul buku :
Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis :
P. Swantoro
Penerbit : Kepustakaan
Populer Gramedia
Cetakan : I
Tahun terbit : 2002
Tebal buku : xxv + 435 halaman
Dengan cara yang menawan, ia mengisahkan bagaikan seorang kakek yang baru
pulang dari berkelana di negeri yang jauh, kemudian menceritakan peng-alamannya
kepada anak cucunya.
Dalam membicarakan suatu bab, Pak Swan sering meloncat-loncat kian kemari. Kata
demi kata mengalir tanpa jelas muaranya. Misalnya, ketika membicarakan Teeuw,
Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu, pembaca benar-benar dituntut cermat untuk
menginterpretasikan benang merah ide tulisan-tulisan ini. Namun, jika kita
bersabar untuk menikmati buku ini sampai habis, tentu kita dapat menemukan
keseluruhan ide Pak Swan dan kebingungan yang muncul di bab demi bab akan
terjawab.
Buku ini lebih merupakan buku sejarah walaupun temanya beraneka ragam. Pembaca
yang baru akan masuk ke wacana sejarah Indonesia, akan sangat terbantu dengan
membaca buku ini terlebih dahulu. Demikian pula para mahasiswa jurusan sejarah.
Penulis :
Habiburrahman El Shirazy
Cetakan : 11, Februari 2006
Tebal buku : 111
Penerbit : Republika
Harga : Rp. 21.000,00
Itulah cuplikan yang ada pada novel mini ini. Ada dua pemaparan utama pada
novel ini. Pria yang memperistri orang yang bernama Raihana tanpa ada cinta
pada awalnya, karena pernikahan mereka hanyalah sebatas ibadah kepada orang
tua. Raihana digambarkan sebagai seorang yang cantik, berjilbab rapi dan hafidz
Al Qur’an. Perwatakannya semampai lagi lemah lembut pribadinya. Ia mencintai
suaminya sepenuh hati walau sang suami belum biasa mencintainya.
Dalam novel ini juga terdapat satu lagi judul yaitu Setetes Embun Cinta Niyala,. Sebuah kisah akhwat lulusan Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri di Jakarta. Dalam kisahnya digambarkan akhwat bernama Niyala yang selepas lulus dari kuliahnya harus kembali ke desa dan menikah dengan lelaki yang memiliki piutang kepada ayahnya sebesar delapan puluh juta rupiah. Niyala menggadaikan dirinya kepada lelaki itu.
Novel ini bagus untuk mengisi waktu luang dan sedikit memuhasabah diri. Apalagi
novelini sangat cocok untuk mereka yang bermasalah karena menganggap kecantikan
adalah segalanya.
Bagi Polycarpus
Swantoro yang ahli sejarah dan jurnalis senior, membaca buku seolah-olah seperti
berolah yoga. Sebagaimana seorang empu keris yang bekerja dalam waktu yang lama
untuk membuat keris yang ringan dari bahan yang bobotnya puluhan kilogram,
seperti itu pulalah yang dilakukan oleh P. Swantoro. Bedanya, P. Swantoro tidak
melakukan pekerjaan menempa besi, tetapi membaca buku. Tentu saja ada ribuan
judul buku yang sudah dibaca Pak Swan. Namun, dalam bukunya yang berjudul Dari
Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu ini “hanya” 200 judul buku yang
ia “kisahkan”.
Sebagai seorang
pengelana di dunia buku, tidaklah mengherankan jika buku-buku yang ia kisahkan
merupakan buku-buku babon yang tua dan cukup langka,. Misalnya, The History of
Java karya Thomas S. Raffles yang terbit tahun 1817, Inleiding tot de
Hindoe-Javaanche Kunst karya N.J Krom yang terbit tahun 1919, atau De Ijombok
Kxpedie karya W Cool yang terbit tahun 1896. Memang, di sana-sini, untuk
keperluan pendukung data, Pak Swan juga menggunakan cukup banyak sumber
sekunder. Sebenarnya, hal ini agak mengganggu. Ketika membahas topik PKI,
misalnya, Pak Swan, sebenarnya, perlu menggunakan sumber yang lebih memadai.
Tema yang diangkat
pun beraneka ragam, mulai dari cerita tentang lambang-lambang kota di
Indonesia, cerita tentang penulis pertama buku komunis di Indonesia, cerita Pak
Poerwa, cerita tentang meletusnya Gunung Merapi, cerita tentang para orientalis
dan sarjana Indonesia, romantika para pendiri bangsa, serta ditutup dengan
khayalan Pak Swan agar para pemimpin dan intelektual masa kini dapat beryogi.
Bagi para pembaca “pemula”, tema yang tumpang-tindih tanpa sistematika yang
jelas ini cukup merepotkan.
Buku Pak Swan ini
mengingatkan kita pada tiga jilid buku Nusa Jawa Silang Budaya karya Denys
Lombard. Tulisan Lombard juga mengabaikan kronologi waktu, yang merupakan
syarat untuk menulis sejarah konvensional. Namun, kecurigaan bahwa buku Pak
Swan menggunakan pola yang sama dengan buku Denys Lombard tidak terbukti
mengingat dalam menulis buku ini Pak Swan lebih mengandalkan memorinya, seperti
pengakuan Pak Swan sendiri dalam pengantar. Karena mengandalkan memori, tentu
saja tulisan yang dihasilkannya menggunakan pola penceritaan lisan.
Buku ini sebenarnya
akan lebih sempurna jika penulisnya, di samping membicarakan cara pandang para
orientalis Barat, juga memberikan contoh buku-buku yang memuat cara pandang
Timur. Sekadar contoh, dijelaskan tentang sebutan “Timur Tengah” untuk wilayah
negara di jazirah Arab. Mengapa orang Indonesia tidak menyebutnya sebagai
“Barat Dekat”, misalnya? Bukankah sebutan “Timur Tengah” adalah sebutan orang
Barat yang melihat jazirah Arab dari sudut pandang wilayahnya? Pandangan
seperti ini sangat diperlukan bagi para mahasiswa sejarah di Indonesia yang
tampaknya semakin kesulitan membaca buku-buku sumber utama.
Untuk keperluan
studi para mahasiswa sejarah, akan sangat menggembirakan jika Pak Swan
menceritakan juga buku Orientalism karya Edward W. Said yang terbit tahun 1979.
Selain itu, sebaiknya, buku yang berisi sikap kita terhadap tradisi Barat yang
berjudul Oksidentalisme karya Hassan Hanafi yang diterbitkan Paramadina,
Jakarta, tahun 2000 juga dibicarakan.
Hal lain yang belum
dibahas secara lengkap oleh Pak Swan sebagai seorang ahli sejarah dan pemerhati
kebudayaan Jawa adalah tentang historiografi Jawa. Prof. C.C. Berg, memang,
sempat dimunculkan dalam bagian Babad: Kitab Dongeng? Namun, sayang sekali,
karya C.C. Berg yang berjudul Oavaanche Geschiedschrijving, yang terbit di
Amsterdam tahun 1938, tidak dimunculkan sehingga gambaran mengenai penulisan
sejarah di Pulau Jawa menjadi agak terabaikan.
Terlepas dari
berbagai ketidaksempurnaan-nya, harus diakui bahwa buku pertama seorang “yogi
buku” ini merupakan karya yang memikat. Bahkan cara dan gaya pengungkapannya,
dalam kadar tertentu, telah memberikan sentuhan sastra yang cukup enak
dinikmati. Kita menantikan karya berikutnya.
Judul buku :
Pudarnya Pesona Cleopatra
“Tak terasa air
mataku mengalir, dadaku sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak.
Dalam isak tangisku semua kebaikan Raihana selama ini terbayang. Wajahnya yang
teduh dan baby face, pengorbanan dan dan pengabdiannya yang tiada putusnya,
suaranya yang lembut, tangisnya mengalirkan perasaan haru dan cinta. Ya, cinta
itu datang dalam keharuanku. Dalam keharuanku terasa ada hawa sejuk turun darik
langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona kecantikan Cleopatra
memudar…”
Hampir mirip dengan
novel Ayat-ayat Cinta, novel ini juga mengambil tema cinta dalam
permasalahannya. Penulis kembali mengajak kita sedikit berkhayal tentang negeri
Mesir dan Andalusia.
“Dan orang-orang
yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya
azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” Sesungguhnya jahannam itu
seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman .(QS. Al Furqaan65-66)
Banyak hal yang
menarik dari kedua cerita dalam satu novel ini. Kemampuan sang penulis untuk
membuat diskripsi dalam otak kita dan membawa kita kedalam khayalan sangat
patut diacungi jempol. Disisipkan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan ending dari
masing-masing cerita pun tidak terduga-duga.
Baca Juga bagaimana menulis surat lamaran kerja yang baik dan Benar:
Contoh Penulisan Surat Lamaran Kerja
Baca Juga bagaimana menulis surat lamaran kerja yang baik dan Benar:
Contoh Penulisan Surat Lamaran Kerja