CONTOH PENULISAN RESENSI BUKU NON FIKSI DAN FIKSI Desember 2023

contoh resensi buku nonfiksi.

1. Kisah Membaca Seorang “Yogi Buku”
Judul buku          : Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis                : P. Swantoro
Penerbit              : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan               : I
Tahun terbit       : 2002
Tebal buku          : xxv + 435 halaman

Dengan cara yang menawan, ia mengisahkan bagaikan seorang kakek yang baru pulang dari berkelana di negeri yang jauh, kemudian menceritakan peng-alamannya kepada anak cucunya.

Dalam membicarakan suatu bab, Pak Swan sering meloncat-loncat kian kemari. Kata demi kata mengalir tanpa jelas muaranya. Misalnya, ketika membicarakan Teeuw, Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu, pembaca benar-benar dituntut cermat untuk menginterpretasikan benang merah ide tulisan-tulisan ini. Namun, jika kita bersabar untuk menikmati buku ini sampai habis, tentu kita dapat menemukan keseluruhan ide Pak Swan dan kebingungan yang muncul di bab demi bab akan terjawab.

Buku ini lebih merupakan buku sejarah walaupun temanya beraneka ragam. Pembaca yang baru akan masuk ke wacana sejarah Indonesia, akan sangat terbantu dengan membaca buku ini terlebih dahulu. Demikian pula para mahasiswa jurusan sejarah.

Penulis                 : Habiburrahman El Shirazy
Cetakan               : 11, Februari 2006
Tebal buku           : 111
Penerbit              : Republika
Harga                  : Rp. 21.000,00

Itulah cuplikan yang ada pada novel mini ini. Ada dua pemaparan utama pada novel ini. Pria yang memperistri orang yang bernama Raihana tanpa ada cinta pada awalnya, karena pernikahan mereka hanyalah sebatas ibadah kepada orang tua. Raihana digambarkan sebagai seorang yang cantik, berjilbab rapi dan hafidz Al Qur’an. Perwatakannya semampai lagi lemah lembut pribadinya. Ia mencintai suaminya sepenuh hati walau sang suami belum biasa mencintainya.




Dalam novel ini juga terdapat satu lagi judul yaitu Setetes Embun Cinta Niyala,. Sebuah kisah akhwat lulusan Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri di Jakarta. Dalam kisahnya digambarkan akhwat bernama Niyala yang selepas lulus dari kuliahnya harus kembali ke desa dan menikah dengan lelaki yang memiliki piutang kepada ayahnya sebesar delapan puluh juta rupiah. Niyala menggadaikan dirinya kepada lelaki itu.

Novel ini bagus untuk mengisi waktu luang dan sedikit memuhasabah diri. Apalagi novelini sangat cocok untuk mereka yang bermasalah karena menganggap kecantikan adalah segalanya.


Bagi Polycarpus Swantoro yang ahli sejarah dan jurnalis senior, membaca buku seolah-olah seperti berolah yoga. Sebagaimana seorang empu keris yang bekerja dalam waktu yang lama untuk membuat keris yang ringan dari bahan yang bobotnya puluhan kilogram, seperti itu pulalah yang dilakukan oleh P. Swantoro. Bedanya, P. Swantoro tidak melakukan pekerjaan menempa besi, tetapi membaca buku. Tentu saja ada ribuan judul buku yang sudah dibaca Pak Swan. Namun, dalam bukunya yang berjudul Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu ini “hanya” 200 judul buku yang ia “kisahkan”.

Sebagai seorang pengelana di dunia buku, tidaklah mengherankan jika buku-buku yang ia kisahkan merupakan buku-buku babon yang tua dan cukup langka,. Misalnya, The History of Java karya Thomas S. Raffles yang terbit tahun 1817, Inleiding tot de Hindoe-Javaanche Kunst karya N.J Krom yang terbit tahun 1919, atau De Ijombok Kxpedie karya W Cool yang terbit tahun 1896. Memang, di sana-sini, untuk keperluan pendukung data, Pak Swan juga menggunakan cukup banyak sumber sekunder. Sebenarnya, hal ini agak mengganggu. Ketika membahas topik PKI, misalnya, Pak Swan, sebenarnya, perlu menggunakan sumber yang lebih memadai.

Tema yang diangkat pun beraneka ragam, mulai dari cerita tentang lambang-lambang kota di Indonesia, cerita tentang penulis pertama buku komunis di Indonesia, cerita Pak Poerwa, cerita tentang meletusnya Gunung Merapi, cerita tentang para orientalis dan sarjana Indonesia, romantika para pendiri bangsa, serta ditutup dengan khayalan Pak Swan agar para pemimpin dan intelektual masa kini dapat beryogi. Bagi para pembaca “pemula”, tema yang tumpang-tindih tanpa sistematika yang jelas ini cukup merepotkan.

Buku Pak Swan ini mengingatkan kita pada tiga jilid buku Nusa Jawa Silang Budaya karya Denys Lombard. Tulisan Lombard juga mengabaikan kronologi waktu, yang merupakan syarat untuk menulis sejarah konvensional. Namun, kecurigaan bahwa buku Pak Swan menggunakan pola yang sama dengan buku Denys Lombard tidak terbukti mengingat dalam menulis buku ini Pak Swan lebih mengandalkan memorinya, seperti pengakuan Pak Swan sendiri dalam pengantar. Karena mengandalkan memori, tentu saja tulisan yang dihasilkannya menggunakan pola penceritaan lisan.

Buku ini sebenarnya akan lebih sempurna jika penulisnya, di samping membicarakan cara pandang para orientalis Barat, juga memberikan contoh buku-buku yang memuat cara pandang Timur. Sekadar contoh, dijelaskan tentang sebutan “Timur Tengah” untuk wilayah negara di jazirah Arab. Mengapa orang Indonesia tidak menyebutnya sebagai “Barat Dekat”, misalnya? Bukankah sebutan “Timur Tengah” adalah sebutan orang Barat yang melihat jazirah Arab dari sudut pandang wilayahnya? Pandangan seperti ini sangat diperlukan bagi para mahasiswa sejarah di Indonesia yang tampaknya semakin kesulitan membaca buku-buku sumber utama.

Untuk keperluan studi para mahasiswa sejarah, akan sangat menggembirakan jika Pak Swan menceritakan juga buku Orientalism karya Edward W. Said yang terbit tahun 1979. Selain itu, sebaiknya, buku yang berisi sikap kita terhadap tradisi Barat yang berjudul Oksidentalisme karya Hassan Hanafi yang diterbitkan Paramadina, Jakarta, tahun 2000 juga dibicarakan.
Hal lain yang belum dibahas secara lengkap oleh Pak Swan sebagai seorang ahli sejarah dan pemerhati kebudayaan Jawa adalah tentang historiografi Jawa. Prof. C.C. Berg, memang, sempat dimunculkan dalam bagian Babad: Kitab Dongeng? Namun, sayang sekali, karya C.C. Berg yang berjudul Oavaanche Geschiedschrijving, yang terbit di Amsterdam tahun 1938, tidak dimunculkan sehingga gambaran mengenai penulisan sejarah di Pulau Jawa menjadi agak terabaikan.

Terlepas dari berbagai ketidaksempurnaan-nya, harus diakui bahwa buku pertama seorang “yogi buku” ini merupakan karya yang memikat. Bahkan cara dan gaya pengungkapannya, dalam kadar tertentu, telah memberikan sentuhan sastra yang cukup enak dinikmati. Kita menantikan karya berikutnya.

Judul buku          : Pudarnya Pesona Cleopatra

“Tak terasa air mataku mengalir, dadaku sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam isak tangisku semua kebaikan Raihana selama ini terbayang. Wajahnya yang teduh dan baby face, pengorbanan dan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangisnya mengalirkan perasaan haru dan cinta. Ya, cinta itu datang dalam keharuanku. Dalam keharuanku terasa ada hawa sejuk turun darik langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona kecantikan Cleopatra memudar…”

Hampir mirip dengan novel Ayat-ayat Cinta, novel ini juga mengambil tema cinta dalam permasalahannya. Penulis kembali mengajak kita sedikit berkhayal tentang negeri Mesir dan Andalusia.

“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman .(QS. Al Furqaan65-66)

Banyak hal yang menarik dari kedua cerita dalam satu novel ini. Kemampuan sang penulis untuk membuat diskripsi dalam otak kita dan membawa kita kedalam khayalan sangat patut diacungi jempol. Disisipkan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan ending dari masing-masing cerita pun tidak terduga-duga.

Baca Juga bagaimana menulis surat lamaran kerja yang baik dan Benar:
Contoh Penulisan Surat Lamaran Kerja
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==