Dampak dan Faktor-faktor yang menyebabkan perkelahian/tawuran antar remaja Desember 2023
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan mengapa seorang remaja terlibat perkelahian antar pelajar, yaitu: (1) faktor internal: faktor adaptasi, cara berpikir (2) faktor eksternal: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar (Kartono, 2003).
1.Faktor internal
1. Faktor adaptasi: merupakan faktor yang berasal dari individu seseorang dalam menanggapi lingkungan di sekitarnya dan semua pengaruh dari luar. Tingkah laku mereka itu merupakan reaksi dari proses belajar, dalam bentuk ketidakmampuan mereka melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Dengan semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi, urbanisasi dan industrialisasi yang berakibat semakin kompleksnya masyarakat sekarang, remaja dituntut untuk melakukan penyesuaian diri/adaptasi terhadap berbagai perubahan sosial. Mereka lalu mengalami banyak kejutan, frustasi, konflik, ketegangan batin dan gangguan kejiwaan, sehingga mempengaruhi keadaan emosional, pola tingkah laku serta hubungannya dengan lingkungan sekitar yang mengalami berbagai perubahan disetiap hal. Emosi pada masa remaja biasanya akan mudah bangkit dan mengekspresikannya secara meledak-ledak. Faktor yang mempengaruhi status emosi pada masa usia remaja adalah masalah fisik dari remaja tersebut, lingkungan sosial (penyesuaian terhadap lingkungan yang baru dan hambatan-hambatan terhadap hal-hal yang diinginkan serta relasi dalam keluarga yang kurang mendukung).
Hasballah (2003) mengatakan, bahwa konsep diri remaja juga sangat menentukan dalam proses adaptasi bagi remaja. Remaja yang mempunyai konsep diri positif, cenderung bersikap optimistis dan percaya diri. Sebaliknya, remaja yang mempunyai konsep diri negatif akan bersikap rendah diri, pesimistis, minder, dan menarik diri dari lingkungan atau komunitasnya. Konsep diri memiliki beberapa kelompok yaitu dimensi pengetahuan diri, harapan pada diri, dan evaluasi pada diri. Secara teori, agresivitas remaja akan mengarah ke tingkat destruktif bila kualitas lingkungan, kualitas hubungan orangtua, dan konsep diri semuanya negatif.
2. Cara berpikir: berpikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat dan adaptasi wajar terhadap tuntutan lingkungan dan sebagai upaya untuk memecahkan kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Jika anak remaja tidak mampu mengoreksi pikiran-pikirannya yang salah dan tidak sesuai dengan realita yang ada, maka pikirannya terganggu. Lalu pola reaktifnya juga menjadi terganggu/menyimpang dan tidak normal lagi, seperti reaksi dan tingkah laku anak menjadi salah; bisa menjadi liar tidak terkendali, selalu memakai cara-cara yang keras dan perkelahian dalam menanggapi segala kejadian.
Soetjiningsih (2004) mengatakan bahwa perkembangan cara berpikir merupakan satu hal yang harus dicermati karena pada fase ini cara berpikir konkrit yang ditunjukkan pada masa kanak-kanak sudah ditinggalkan. Namun perkembangan cara berpikir ini ternyata tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang naik turun. Bersikap kritis pada setiap masalah, menentang peraturan sekolah maupun di rumah menjadi suatu ciri meningkatnya kemampuan berpikir yang mulai meluas pada remaja. Anak yang menjadi korban kekerasan maupun menyaksikan kekerasan/perkelahian akan mempengaruhi fungsi berpikir dan distorsi pada memorinya. Kemarahan akan tertanam pada dirinya, sehingga akan mempengaruhi struktur kepribadiannya, sulit mengontrol perilakunya serta beresiko tinggi melakukan tindak kekerasan dan perkelahian pula.
2. Faktor eksternal
1.Lingkungan keluarga: lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi dan pembentukan kepribadian anak serta menjadi unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yanag memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. Dengan kata lain, secara ideal perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Tentu saja keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang harmonis, sehingga remaja memperoleh berbagai jenis kebutuhan, seperti: kebutuhan fisik-organis, sosial maupun psikososial.
Peranan keluarga khususnya orang tua sangat dominan dalam perkembangan watak dan kepribadian seorang anak, baik dalam hal penerimaan anak di dalam keluarga, kasih sayang, serta aturan-aturaan yang ada di dalam keluarga yang akan menghambat kebebasan anak untuk berkembang semaksimal mungkin.
Menurut Hasballah (2003) Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, tidak mendapat kasih sayang, dan tidak diterima oleh orang tua di rumah juga akan cenderung membuat remaja/anak lari dari situasi yang nyata. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk melakukan perilaku menyimpang.
Stuart dan Sundeen (1995) menyatakan bahwa faktor keluarga (orang tua), turut memberi andil yang besar dalam proses pembentukan konsep diri anak. Anak yang di besarkan dalam lingkungan yang kondusif, penuh kasih sayang dan saling menghargai akan membawa anak kepada konsep diri yang positif. Sebaliknya rendahnya kasih sayang, penerimaan dan penghargaan yang didapatkan seorang anak juga bisa membawa dampak yang buruk dalam proses perkembangannya.
Sedangkan menurut Soekanto (2004) lingkungan keluarga yang tidak kondusif, ketertekanan anak sebagai akibat lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan disfungsi keluarga dalam melaksanakan perannya, ternyata berdampak kepada larinya anak dari lingkungan keluarga. Hilangnya peran orang tua sebagai pemenuh kebutuhan, pemberi perlindungan, kasih sayang, penghargaan, dan pemberi ketentraman, mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi anak untuk merasakan kehidupan yang layak dan normal, sehingga anak mencari di luar lingkungan sekitarnya dalam memenuhi kebutuhannnya.
2. Lingkungan sekolah: sekolah merupakan pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga. Sekolah selain tempat menuntut ilmu pengetahuan, juga merupakan tempat dimana anak remaja untuk membentuk watak dan kepribadian yang sesuai dengan perkembangannya dan sekolah juga memberikan bantuan terhadap penerimaan fisik remaja, seksualitas serta peran jenisnya saat remaja melepaskan emosional dari orang tuanya, pada saat mempersiapkan diri untuk membuat hubungan baik dengan teman-teman sebayanya dan guru serta mentaati peraturan-peraturan yang ada di sekolah.
Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja, kecenderungan keterikatan dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi diantara anggota-anggotanya.
Monks, (2004) mengatakan bahwa lingkungan sekolah juga memberi bantuan kepada para remaja dalam mencari pengisian waktu luang yang baik dalam mengembangkan kemampuan kreatifnya, sehingga tidak terjadi perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang ada.
Stuart dan sundeen (1995) mengatakan bahwa lingkungan sekolah dalam hal ini teman sebaya mempengaruhi proses terbentuknya konsep diri. Lingkungan yang penuh dengan kehangatan, saling menghargai dan penuh penghargaan membawa dampak terbentuknya konsep diri yang positif pada anak remaja, sebaliknya lingkungan yang penuh dengan kekerasan (perkelahian), membawa dampak yang tidak baik bagi perkembangan konsep diri anak remaja, seperti yang ditemukan pada remaja yang sering berkelahi. Soetjininngsih (2004) juga mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya tawuran/perkelahian anatar pelajar adalah keinginan untuk membalas dendam antar teman atau kenalannya, yang kemudian akan menimbulkan penyesalan pada dirinya.
Soetjiningsih (2004) juga mengatakan 57% remaja merasakan dirinnya diejek, diolok-olok atau dibicarakan hal-hal negatif oleh orang lain. Pengalaman ini sering dialami mereka di lingkungan sekolahnya, sehingg hampir 90% kenakalan atau perkelahian antar pelajar ini terjdi di sekolah.
3. Lingkungan sekitar: anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan lingkungan sekitar tidak selalu baik dan menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan anak. Lingkungan sekitar ada kalanya dihuni oleh orang-orang dewasa serta anak-anak muda kriminal dan anti sosial, yang bisa merangsang timbulnya reaksi emosional yang buruk pada anak-anak dan remaja yang masih labil jiwanya. Dengan begitu anak-anak remaja ini mudah terbawa oleh pola kriminal, a susila dan anti sosial.
Hasballah, (2003) mengatakan kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di lingkungan rumah.
B. Dampak perkelahian/tawuran
Menurut Hasby, E (2000), Ada 4 (empat) dampak negatif dari perkelahian antar pelajar, yaitu:
- Pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera bahkan tewas.
- Rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi, seperti: kaca toko, kendaraan dan bangunan sekolah.
- Terganggunya proses belajar mengajar di sekolah.
- Yang paling dikhawatirkan para pendidik yaitu berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain.
Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia terutama terhadap kehidupan remaja atau generasi mudanya.