Hambatan dan Tantangan Pemberantasan Korupsi September 2023
Hambatan dan Tantangan Pemberantasan Korupsi -Empat tahun sejak pendiriannya dan menjelang berakhirnya masa kepemimpinan KPK yang pertama (akhir 2007), perhatian dan harapan masyarakat terhadap KPK semakin tinggi yang dimana salah satu tolok ukurnya adalah dari meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat yang mencapai lebih dari 22 ribu (Laporan Tahunan KPK 2007 hal.9). Seiring dengan hal tersebut KPK yang hanya terdiri dari 450 orang SDM tidak mampu mengimbangi penanganan perkara sejumlah itu, sehingga kinerja KPK tidak memadai dalam memenuhi harapan masyarakat yang tinggi. Akibatnya muncul kritik tajam terhadap kinerja KPK, yang dianggap tebang pilih dalam menangani kasus TPK, munculnya ide untuk uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan adanya kritik bahwa anggaran yang digunakan KPK tidak sepadan dengan aset negara yang berhasil diselamatkan, bahkan muncul keinginan untuk membubarkan KPK.
Analisis persepsi…, Diana Azwina, FISIP UI, 2008 Sudah banyak anggota DPRD, pengusaha, dan pejabat pemerintah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Para bupati, gubernur, menteri, dan komisaris BUMN/BUMD, baik yang aktif maupun yang tidak aktif mulai memberi perhatian khusus terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, Kejaksaan, maupun kepolisian. Upaya pemberantasan korupsi membawa dampak yang signifikan. Namun selain munculnya ketakutan berbuat curang serta mulai menguatnya apresiasi pejabat terhadap prinsip kehati-hatian, ternyata upaya ini juga dianggap memperlambat perputaran roda perekonomian, umpamanya muncul keengganan menjadi pemimpin proyek, sebuah posisi yang dulunya diperebutkan, panitia pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan banyaknya bankir yang takut dituduh korupsi sehingga bersikap pasif dalam menyalurkan kredit. Akibatnya realisasi proyek-proyek pembangunan menjadi sangat rendah.
Disisi lain, hambatan/kendala pun muncul dalam bentuk masalah yang dihadapi KPK dalam memberantas korupsi, antara lain:
1. Adanya permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkaman Konstitusi (MK), baik UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 maupun UU No. 30 tahun 2003 yang menunjukkan masih ada titik lemah dalam UU tersebut. Pada tahun 2006 MK telah membatalkan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 yang berarti penegak hukum tidak lagi diperbolehkan menggunakan perbuatan melawan hukum secara materil untuk membuktikan apakah seseorang bersalah melakukan korupsi. MK juga memutuskan bahwa Pasal 53 UU No. 30 tahun 2002 yang mengatur tentang eksistensi peradilan tipikor bertentangan dengan UUD 1945, walaupun masih mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 tahun sejak putusan dikeluarkan. Lebih dari setahun sejak dikeluarkan MK, proses perubahan penyusunan UU No. 31 tahun 1999 maupun UU No. 30 tahun 2002 belum selesai dibahas. Keputusan MK tentang uji materi Pasal 53 UU No. 30 tahun 2002 mengharuskan perangkat UU tentang pemberantasan korupsi maupun KPK diamandemen, agar di masa depan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK bisa mengakomodasi kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara luas dan menyeluruh sekaligus menutup peluang munculnya permohonan uji materi.
2. UU No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, hanya memberi rumusan apa yang disebut sebagai Tindak Pidana Analisis persepsi…, Diana Azwina, FISIP UI, 2008Korupsi (TPK), dimana ada 19 pasal yang mengidentifikasi suatu perbuatan sebagai TPK. Adanya perkembangan domain korupsi semakin luas dan mencakup sektor swasta, namun tidak didukung dengan perluasan wewenang kepada penegak hukum termasuk KPK yang dalam mengusut korupsi sampai saat ini belum bisa menyentuh ke sektor swasta.
3. Laporan Tahunan KPK 2007 (hal.22) menyebutkan bahwa dengan jumlah SDM KPK saat ini (450 orang), hanya 120 orang (26,77) persen diantaranya ditempatkan di Deputi Penindakan. Apabila dilihat dari sisi jumlah pengaduan masyarakat, kasus-kasus yang ditangani, maupun harapan masyarakat terhadap KPK serta adanya perkembangan domain korupsi yang semakin luas, jumlah ini jauh dari mencukupi. Laporan Tahunan KPK 2007 (hal.117) memperlihatkan grafik penanganan pengaduan masyarakat periode 2004-2007 dimana dari tahun ke tahun jumlah pengaduan yang diterima KPK semakin banyak, namun sedikit yang ditindaklanjuti KPK karena tidak sebanding dengan jumlah SDM yang dimiliki KPK, sehingga KPK belum dapat memenuhi hasil yang diharapkan masyarakat untuk menangani seluruh perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK). Perkembangan jumlah pegawai KPK dari tahun 2004 hingga 2007 menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Tahun 2004 jumlah SDM KPK tercatat sekitar 80 orang, 2005 sekitar 159 orang, 2006 314 orang, dan 2007 450 orang. Sementara itu, dari jumlah pengaduan, tercatat pada tahun 2004 dari 2.281 pengaduan diterima 13 ditindaklajuti KPK, tahun 2005, dari 7.361 pengaduan diterima 90 ditindaklajuti KPK, tahun 2006 dari 6.938 pengaduan diterima 171 ditindaklanjuti KPK, tahun 2007 dari 6.441 pengaduan diterima 184 ditindaklajuti KPK. Tercatat pula sampai dengan November 2007, total jumlah pengaduan yang masuk sekitar 22.172 pengaduan. Selain karena keterbatasan jumlah SDM, hal ini juga disebabkan karena dari seluruh laporan yang masuk, harus ditelaah untuk dapat ditentukan pengaduan yang berindikasi TPK, pengaduan yang harus dilimpahkan dan ditindaklanjuti instansi lain (Kepolisian, Kejaksaan, BPKP, Itjen, BPK, MA, dan Bawasda), dan pengaduan yang harus ditindaklanjuti KPK. Apabila pengaduan telah diputuskan harus ditindaklanjuti KPK, maka harus melalui 3 tahap dalam penindakan pengaduan yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dimana masing-masing tahap memiliki batasi waktu tertentu. Apabila batas waktu ini tidak dipenuhi, akan ada konsekuensi tertentu dan tentunya juga akan mempengaruhi kinerja KPK di mata masyarakat. Analisis persepsi…, Diana Azwina, FISIP UI, 20084.
4. Kendala dalam pemberantasan korupsi dapat pula dikarenakan pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi pemerintah belum berjalan sepenuhnya.
Kendala sekaligus tantangan yang dihadapi KPK, utamanya pada tahun 2007 tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemberantasan korupsi di negara-negara lain. Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Menentang Korupsi (United Nations Covention Against Corruption/UNCAC) tanggal 9 Desember 2003 di Meksiko, dimana setidaknya 137 negara menandatangani konvensi termasuk Indonesia berdampak terhadap upaya pemberantasan TPK di Indonesia. Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 pada 21 Maret 2006 dan sebulan kemudian lahir UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC. Dengan disahkannya UU No. 7 tahun 2006, Indonesia harus menyelaraskan UU TPK dengan sejumlah ketentuan dalam UNCAC. Diantaranya mengenai ruang lingkup tindakan pencegahan korupsi yang menyebutkan bahwa pencegahan dan penuntutan praktik korupsi meliputi sektor swasta dan tindakan-tindakan untuk mencegah pencucian uang, padahal sesuai dengan UU No. 30 tahun 2002 dalam melakukan upaya hukum yang menyangkut penyelenggara negara dan aparat penegak hukum KPK belum menjamah sektor swasta. Disisi lain, kehadiran konvensi antikorupsi tersebut juga menandai diakuinya korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bahkan dalam konferensi Asosiasi Internasional Otoritas Pemberantasan Korupsi tahun 2006 disepakati bahwa korupsi merupakan kejahatan lintas negara.
Keputusan MK terhadap uji materi pasal 53 UU No. 30 tahun 2002 maupun tindak lanjut ratifikasi konvensi antikorupsi PBB, mengharuskan perangkat UU tentang pemberantasan korupsi maupun KPK untuk diamandemen. Menjadi tugas pemerintah dan DPR untuk membenahi perangkat UU tersebut, sehingga ke depannya KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bisa mengakomodasi kepentingan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara lebih luas dan menyeluruh sekaligus menutup peluang munculnya permohonan uji materi. Disisi lain, upaya pencegahan korupsi yang dilakukan KPK belum mendapat tanggapan serius dari aparat birokrasi. Reformasi birokrasi khususnya perbaikan yang berkaitan dengan pelayanan publik dan sebagai salah satu parameter keberhasilan pemberantasan korupsi belum mengalami peningkatan secara signifikan. Indikator untuk Analisis persepsi…, Diana Azwina, FISIP UI, 2008mengukur sejauh mana reformasi birokrasi dijalankan adalah mengukur apakah pelayanan publik sudah efektif dan efisien, dimana salah satunya adalah dengan melihat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International. Pada tahun 2006 IPK Indonesia 2,4, naik 0,2 dari tahun sebelumnya dan menduduki poisisi no. 12 diantara negara-negara Asia. Sedangkan pada tahun 2007 IPK Indonesia 2,3, justru turun dari 2006. IPK bukanlah gambaran untuk melihat tingkat korupsi yang terjadi, melainkan merupakan gambaran buruknya pelayanan publik. Rendahnya IPK Indonesia antara lain disebabkan oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam praktek tata kelola pemerintahan pada umumnya dan khususnya dalam praktek pelayanan publik. IPK mengindikasikan relevansi buruknya pelayanan publik akibat korupsi yang terjadi di lingkungan instansi pemerintah, padahal Presiden melalui Instruksi No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi mengamanatkan peningkatann kualitas pelayanan publik dan penetapan program dan wilayah bebas korupsi. IPK yang belum beranjak naik secara signifikan menunjukkan bahwa upaya pencegahan korupsi di Indonesia masih bergerak lamban. Hal ini berarti Instruksi Presiden tersebut belum dijalankan secara penuh dan belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Beberapa Unit kerja dan Pemerintah Daerah memang telah melakukan perbaikan-perbaikan secara internal, namun masih bersifat sporadis dan parsial, karena itu perlu digerakkan secara progresif oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah.
Dari sisi KPK, rendahnya IPK Indonesia ini belum menggambarkan persepsi seluruh masyarakat yang sebenarnya karena responden diambil dari institusi tertentu, sehingga hal ini mendasari dilakukannya studi integritas terhadap instansi penyedia pelayanan publik di Indonesia oleh KPK. Studi yang dilakukan terhadap 65 unit layanan departemen/instansi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan 3.611 responden yang merupakan pengguna langsung pelayanan publik, di anggap mampu menggambarkan persepsi masyarakat sebenarnya akan instansi penyedia pelayanan publik.
Sumber : Diana Azwina, FISIP UI, 2008